TERAPI HUMANISTIK EKSISTENSIAL
Terapi-terapi psikodinamik cenderung
memusatkan perhatian pada proses-proses tak eksistensial memusatkan perhatian
pada pengalaman-pengalaman sadar. Terapi-terapi humanistic eksistensial juga
lebih memusatkan pada apa yang dialami pasien pada masa-masa sekarang “di sini
dan kini” dan bukan pada masa lampau. Tetapi ada juga kesamaan antara
terapi-terapi humanistuk eksistensial, yakni keduanya menekankan bahwa
peristiwa-peristiwa dan pengalaman-pengalaman masa lampau dapat mempengaruhi
tingkah laku dan perasaan-perasaan individu sekarang, dan kedua-duanya juga
berusaha memperluas pemahaman diri dan kesadaran diri pasien.
Teori konseling
eksistensial-humanistik menekankan renungan filosofi tentang apa artinya
menjadi manusia. Banyak para ahli psikologi yang berorientasi
eksistensial,mengajukan argumen menentang pembatasan studi tingkah laku pada
metode-metode yang digunakan oleh ilmu alam. Terapi eksistensial berpijak pada
premis bahwa manusia tidak bisa lari dari kebebasan dan bahwa kebebasan dan
tanggung jawab berkaitan. Dalam penerapan-penerapan terapeutiknya
eksistensial-humanistik memusatkan perhatian pada filosofis yang
melandasiterapi. Pendekatan atau teori eksistensian-humanistik menyajikan suatu
landasan filosofis bagi orang berhubungan dengan sesama yang menjadi ciri khas,
kebutuhan yang unik dan menjadi tujuan konselingnya, dan yang melalui
implikasi-implikasi bagi usaha membantu dalam menghadapi pertanyaan-pertanyaan
dasar yang menyangkut keberadaan manusia.
Pendekatan
eksistensial-humanistik mengembalikan pribadi kepada fokus sentral, sentral
memberikan gambaran tentang manusia pada tarafnya yang tertinggi. Ia
menunjukkan bahwa manusia selalu ada dalam proses pemenjadian dan bahwa manusia
secara sinambung mengaktualkan dan memenuhi potensinya. Pendekatan eksistensial
secara tajam berfokus pada fakta-fakta utama keberadaan manusia – kesadaran
diri dan kebebasan yang konsisten.
Konsep Dasar
Tentang Manusia
Pendekatan
Eksistensial-humanistik berfokus pada diri manusia. Pendekatan ini mengutamakan
suatu sikap yang menekankan pada pemahaman atas manusia. Pendekatan
Eksisteneial-Humanistik dalam konseling menggunakan sistem tehnik-tehnik yang bertujuan
untuk mempengaruhi konseli. Pendekatan terapi eksistensial-humanistik bukan
merupakan terapi tunggal, melainkan suatu pendekatan yang mencakup
terapi-terapi yang berlainan yang kesemuanya berlandaskan konsep-konsep dan
asumsi-asumsi tentang manusia. Konsep-konsep utama pendekatan eksistensial yang
membentuk landasan bagi praktek konseling, yaitu:
a. Kesadaran Diri
Manusia memiliki
kesanggupan untuk menyadari dirinya sendiri, suatu kesanggupan yang unik dan
nyata yang memungkinkan manusia mampu berpikir dan memutuskan. Semakin kuat
kesadaran diri seorang, maka akan semakin besar pula kebebasan yang ada pada
orang itu. Kesadaran untuk memilih alternatif-alternatif yakni memutuskan
secara bebas didalam kerangka pembatasnya adalah suatu aspek yang esensial pada
manusia. Kebebasan memilih dan bertindak itu disertai tanggung jawab. Para
ekstensialis menekan manusia bertanggung jawab atas keberadaan dan nasibnya.
b. Kebebasan, tanggung jawab, dan
kecemasan
Kesadaran atas kebebasan dan
tanggung jawab bisa menimbulkan kecemasan yang menjadi atribut dasar pada
manusia. Kecemasan ekstensial bisa diakibatkan atas keterbatasannya dan atas
kemungkinan yang tak terhindarkan untuk mati (nonbeing). Kesadaran atas
kematian memiliki arti penting bagi kehidupan individu sekarang, sebab
kesasaran tersebut menghadapkan individu pada kenyataan bahwa dia memiliki
waktu yang terbatas untuk mengaktualkan potensi-potensinya. Dosa ekstensial
yang juga merupakan bagian kondisi manusia. Adalah akibat dari kegagalan individu
untuk benar-benar menjadi sesuatu sesuai dengan kemampuannya.
c. Penciptaan
Makna
Manusia itu unik
dalam arti bahwa ia berusaha untuk menentukan tujuan hidup dan menciptakan
nilai-nilai yang akan memberikan makna bagi kehidupan. Menjadi manusia juga
berarti menghadapi kesendirian (manusia lahir sendirian dan mati sendirian
pula). Walaupun pada hakikatnya sendirian, manusia memiliki kebutuhan untuk
berhubungan dengan sesamanya dalam suatu cara yang bermakna, sebab manusia
adalah mahluk rasional. Kegagalan dalam menciptakan hubungan yang bermakna bisa
menimbulkan kondisi-kondisi isolasi dipersonalisasi, alineasi, kerasingan, dan
kesepian. Manusia juga berusaha untuk mengaktualkan diri yakni mengungkapkan
potensi-potensi manusiawinya. Sampai tarap tertentu, jika tidak mampu
mengaktualkan diri, ia bisa menajdi “sakit”.
Proses
Konseling atau proses terapeutik
Ada tiga tahap
proses konseling yaitu
1. Konselor
membantu konseli dalam mengidentifikasi dan mengklarifikasi asumsi mereka tentang
dunia. Konseli diajak untuk mendefinisikan dan menayakan tentang cara mereka
memandang dan menjadikan eksistensi mereka bisa diterima. Mereka meneliti nilai
mereka, keyakinan, serta asumsi untuk menentukan kesalahannya. Bagi banyak
konseli hal ini bukan pekerjaan yang mudah, oleh karena itu awalnya mereka
memaparkan problema mereka. Konselor disini mengajarkan mereka bagaimana
caranya untuk bercermin pada eksistensi mereka sendiri.
2. Konseli
didorong semangatnya untuk lebih dalam lagi meneliti sumber dan otoritas dari
sistem nilai mereka. Proses eksplorasi diri ini biasanya membawa konseli ke
pemahaman baru dan berapa restrukturisasi dari nilai dan sikap mereka. Konseli
mendapat cita rasa yang lebih baik akan jenis kehidupan macam apa yang mereka anggap
pantas. Mereka mengembangkan gagasan yang jelas tentang proses pemberian nilai
internal mereka.
3. Konseling
eksistensial berfokus pada menolong konseli untuk bisa melaksanakan apa yang
telah mereka pelajari tentang diri mereka sendiri. Sasaran terapi adalah
memungkinkan konseli untuk bisa mencari cara pengaplikasikan nilai hasil
penelitian dan internalisasi dengan jalan kongkrit. Biasanya konseli menemukan
jalan mereka untuk menggunakan kekuatan itu demi menjalani konsistensi kehidupannya
yang memiliki tujuan.
Penerapan langkah atau Teknik- teknik dalam
konseling
Teori
eksistensial-hunianistik tidak memiliki teknik-teknik yang ditentukan secara
ketat. Prosedur-prosedur konseling bisa dipungut dari beberapa teori konseling
lainnya. Metode-metode yang berasal dari teori Gestalt dan Analisis
Transaksional sering digunakan, dan sejumlah prinsip dan prosedur psikoanalisis
bisa diintegrasikan ke dalam teori eksistensial-humanistik. Buku The Search
for "Authenticity (1965) dari Bugental adalah sebuah karya lengkap
yang mengemukakan konsep-konsep dan prosedur-prosedur psikokonseling
eksistensial yang berlandaskan model psikoanalitik. Bugental menunjukkan bahwa
konsep inti psikoanalisis tentang resistensi dan transferensi bisa diterapkan
pada filsafat dan praktek konseling eksistensial. Ia menggunakan kerangka
psikoanalitik untuk menerangkan fase kerja konseling yang berlandaskan
konsep-konsep eksistensial seperti kesadaran, emansipasi dan kebebasan,
kecemasan eksistensial, dan neurosis eksistensial.
Rollo May
(1953,1958,1961), seorang psikoanalisis Amerika yang diakui luas atas
pengembangan psikokonseling eksistensial di Amerika, juga telah
mengintegrasikan metodologi dan konsep-konsep psikoanalisis ke dalam
psikokonseling eksistensial.
Pertanyaan-pertanyaan
eksistensial yang menempati kedudukan sentral dalam konseling adalah: Seberapa
besar saya menyadari siapa saya ini? Bisa menjadi apa saya ini? Bagaimana saya
bisa memilih menciptakan kembali identitas diri saya yang sekarang? Seberapa
besar kesanggupan saya untuk menerima kebebasan memilih jalan hidup saya
sendiri Bagaimana saya mengatasi kecemasan yang ditimbulkan oleh kesadaran atas
pilihan-pilihan? Sejauh mana saya hidup dari dalam pusat diri saya sendiri? Apa
yang saya lakukan untuk menemukan makna hidup ini? Apa saya menjalani hidup,
ataukah saya hanya puas atas keberadaan saya? Apa yang saya lakukan untuk
membentuk identitas pribadi yang saya inginkan? Pada pembahasan di bawah ini
diungkap dalil-dalil yang mendasari praktek konseling eksistensial-humanistik. Dalil-dalil
ini, yang dikembangkan dari suatu survai atas karya-karya para penulis
psikologi eksistensial, berasal dari Frankl (1959,1963), May (1953, 1958,
1961), Maslow (1968), Jourard (1971), dan Bugental (1965), merepresentasikan
sejumlah tema yang penting yang merinci praktek-praktek konseling.
Tema-Tema Dan Dalil-Dalil Utama Eksistensial
dan Penerapan-Penerapan Pada Praktek Konseling
Dalil 1 : Kesadaran diri
Manusia memiliki
kesanggupan untuk menyadari diri yang menjadikan dirinya mampu melampaui
situasi sekarang dan membentuk basis bagi aktivitas-aktivitas berpikir dan
memilih yang khas manusia.
Kesadaran diri itu
membedakan manusia dari makhluk-makhluk lain. Manusia bisa tampil di luar diri
dan berefleksi atas keberadaannya. Pada hakikatnya, semakin tinggi kesadaran
diri seseorang, maka ia semakin hidup sebagai pribadi atau sebagaimana
dinyatakan oleh Kierkegaard, "Semakin tinggi kesadaran, maka semakin utuh
diri seseorang." Tanggung jawab berlandaskan kesanggupan untuk sadar.
Dengan kesadaran, seseorang bisa menjadi sadar atas tanggung jawabnya untuk
memilih. Sebagaimana dinyatakan oleh May (1953), "Manusia adalah makhluk
yang bisa menyadari dan, oleh karenanya, bertanggung jawab atas keberadaannya”.
Kesadaran bisa
dikonseptualkan dengan cara sebagai berikut: Umpamakan Anda berjalan di lorong
yang di kedua sisinya terdapat banyak pintu, Bayangkan bahwa Anda bisa membuka
beberapa pintu, baik membuka sedikit ataupun membuka lebar-lebar. Barangkali,
jika Anda membuka satu pintu, Anda tidak akan menyukai apa yang Anda temukan di
dalamnya menakutkan atau menjijikkan. Di lain pihak, Anda bisa menemukan sebuah
ruangan yang dipenuhi oleh keindahan. Anda mungkin berdebat dengan diri
sendiri, apakah akan membiarkan pintu itu tertutup atau terbuka.
Apabila seorang
konselor dihadapkan pada konseli yang kesadaran dirinya kurang maka konselor
harus menunjukkan kepada konseli bahwa harus ada pengorbanan untuk meningkatkan
kesadaran diri. Dengan menjadi lebih sadar, konseli akan lebih sulit untuk “
kembali ke rumah lagi “, menjadi orang yang seperti dulu lagi.
Dalam pengertian
yang sesungguhnya, peningkatan kesadaran diri yang mencakup kesadaran atas
alternatif-alternatif, motivasi-motivasi, faktor-faktor yang membentuk pribadi
dan atas tujuan-tujuan pribadi adalah tujuan segenap konseling.
Dalil 2 : Kebebasan dan tanggung jawab
Manusia adalah
makhluk yang menentukan diri, dalam arti bahwa dia memiliki kebebasan untuk
memilih di antara altematif-altematif. Karena manusia pada dasamya bebas, maka
dia harus bertanggung jawab atas pengarahan hidup dan penentuan nasibnya
sendiri.
Pendekatan
eksistensial meletakkan kebebasan, determinasi diri, keinginan, dan putusan pad
a pusat ke beradaan manusia. Jika kesadaran dan kebebasan dihapus dari manusia,
maka dia tidak lagi hadir sebagai manusia, sebab kesanggupan-k esanggupan
itulah yang memberinya kemanusiaan. Pandangan eksistensial adalah bahwa
individu, dengan putusan-putusannya, membentuk nasib dan mengukir keberadaannya
sendiri. Seseorang menjadi apa yang diputuskannya, dan dia harus bertanggung
jawab atas jalan hid.up yang ditempuhnya. Tillich mengingatkan, "Manusia
benar-benar menjadi manusia hanya saat mengambil putusan. Sartre mengatakan,
"Kita adalah pilihan kita." Nietzsche menjabarkan kebebasan sebagai
"kesanggupan untuk menjadi apa yang memang kita alami". Ungkapan
Kierkegaard, "memilih diri sen-diri", menyiratkan bahwa seseorang
bertanggung jawab atas kehidupan dan keberadaannya. Sedangkan Jaspers menyebutkan
bahwa "kita adalah makhluk yang memutuskan".
Tugas konselor
adalah mendorong konseli untuk belajar menanggung risiko terhadap akibat
penggunaan kebebasannya. Yang jangan dilakukan adalah melumpuhkan konseli dan
membuatnya bergantung secara neurotik pada konselor. Konselor perlu mengajari
konseli bahwa dia bisa mulai membuat pilihan meskipun konseli boleh jadi telah
menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk melarikan diri dari kebebasan
memilih.
Dalil 3: Keterpusatan dan kebutuhan akan orang lain
Setiap individu
memiliki kebutuhan untuk memelihara keunikan tetapi pada saat yang sama ia
memiliki kebutuhan untuk keluar dari dirinya sendiri dan untuk berhubungan
dengan orang lain serta dengan alam. Kegagalan dalam berhubungan dengan orang
lain dan dengan alam menyebabkan ia kesepian dan mengalamin keterasingan.
Kita masing-masing
memiliki kebutuhan yang kuat untuk menemukan suatu diri, yakni menemukan
identitas pribadi kita. Akan tetapi, penemuan siapa kita sesungguhnya bukanlah
suatu proses yang otomatis; ia membutuhkan keberanian. Secara paradoksal kita
juga memiliki kebutuhan yang kuat untuk keluar dari keberadaan kita. Kita
membutuhkan hubungan dengan keberadaan-keberadaan yang lain. Kita harus
memberikan diri kita kepada orang lain dan terlibat dengan mereka.
Usaha menemukan
inti dan belajar bagaimana hidup dari dalam memerlukan keberanian. Kita
berjuang untuk menemukan, untuk menciptakan, dan untuk memelihara inti dari ada
kita. Salah satu ketakutan terbesar dari para konseli adalah bahwa mereka
akan tidak menemukan diri mereka. Mereka hanya menganggap bahwa mereka bukan
siapa-siapa.
Para konselor
eksistensial bisa memulai dengan meminta kepada para konselinya untuk mengakui
perasaannya sendiri. Sekali konseli menunjukan keberanian untuk mengakui
ketakutannya, mengungkapkan ketakutan dengan kata-kata dan membaginya, maka
ketakutan itu tidak akan begitu menyelubunginya lagi. Untuk mulai bekerja bagi
konselor adalah mengajak konseli untuk menerima cara-cara dia hidup di luar
dirinya sendiri dan mengeksplorasi cara-cara untuk keluar dari pusatnya
sendiri.
Kebutuhan akan diri berkaitan
dengan kebutuhan menjalani hubungan yang bermakna dengan orang lain. Jiks kita
hidup dalam isolasi dan tidak memiliki hubungan yang nyata dengan orang lain
maka kita mengalami perasaan terabaikan, terasingkan, dan terkucilkan.
Teknik-teknik Konseling Eksistensial
Yang paling dipedulikan oleh
konselor eksistensial adalah memahami dunia subyektif si klien agar bisa
menolongnya untuk bisa sampai pada pemahaman dan pilihan-pilihan baru. Fokusnya
adalah pada situasi hidup klien pada saat itu, dan bukan pada menolong klien
agar bisa sembuh dari situasi masa lalu (May &Yalom, 1989). Biasaya terpis
eksistensial menggunakan metode yang mencakup ruang yang cukup luas, bervariasi
bukan saja dari klien ke klien, tetapi juga dengan klien yang sama dalam tahap
yang berbeda dari proses terapeutik. Di satu sisi, mereka menggunakan teknik
seperti desentisasi (pengurangan kepekaan atas kekurangan yang diderita klien
sehabis konseling), asosiasi bebas, atau restrukturisasi kognitif, dan mereka
mungkin mendapatkan pemahaman dari konselor yang berorientasi lain. Tidak ada
perangkat teknik yang dikhususkan atau dianggap esensial (Fischer &
Fischer, 1983). Di sisi lain, beberapa orang eksistensialis mengesampingkan
teknik, karena mereka lihat itu semua memberi kesan kekakuan, rutinitas, dan
manipulasi
Sepanjang proses terapeutik,
kedudukan teknik adalah nomor dua dalam hal menciptakan hubungan yang akan bisa
membuat konselor bisa secara efektif menantang dan memahami klien.
Teknik-teknik yang digunakan dalam
konseling eksistensial-humanistik, yaitu:
- Penerimaan
- Rasa hormat
- Memahami
- Menentramkan
- Memberi dorongan
- Pertanyaan terbatas
- Memantulkan pernyataan dan
perasaan klien
- Menunjukan sikap yang
mencerminkan ikut mersakan apa yang dirasakan klien
- Bersikap mengijinkan untuk apa
saja yang bermakna.
Semium, Yustinus. “Kesehatan
Mental 1”
http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=87&cad=rja&ved=0CFAQFjAGOFA&url=http%3A%2F%2Fenamkonselor.files.wordpress.com%2F2012%2F05%2Fterapieksistensial.pdf&ei=TulWUf-0HJHxrQf4g4HoCw&usg=AFQjCNHC8eFTS2Dxjf6X3oyho6G4fKk7pg&sig2=dQonHb2levYFlWRfpBnkbw
http://himcyoo.wordpress.com/2012/06/07/konseling-eksistensial-humanistik-2/
PUTRI AGUSTA KD
15510435
3PA05